Pengaturan khusus pemerintahan desa merupakan langkah penting yang patut didukung guna tertatanya sistem politik dan mekanisme kekuasaan di desa secara lebih baik. Itu agar di masa datang, desa dapat menjadi pioner bagi pemantapan demokrasi, kemandirian dan kesejahteraan secara lokal maupun nasional.Undang-Undang No 32/2004 yang mengatur aspek pemerintahan daerah sedang mengalami revisi. Salah satu revisi dimaksud adalah pemisahan aturan desa secara khusus ke dalam UU tersendiri. Hal ini serupa dengan masa Orde Baru di mana desa secara khusus diatur dalam UU No 5 tahun 1979.
Bagi publik di Sulawesi Selatan, persoalan ini kurang ramai dibahas dibanding dengan RUU tentang Pemilihan Kepala Daerah yang juga merupakan pengembangan dari UU No. 32/2004.
Sumber rujukanpun masih kurang dipublikasikan oleh media massa lokal terkecuali melalui website beberapa waktu lalu dan milis-milis tertentu.
Melalui kerja sama FPPD dengan drsp-USAID beberapa waktu lalu, dirangkailah berbagai masukan untuk perumusan naskah akademik RUU Desa.
Lalu atas inisiatif pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri disusunlah naskah akademik oleh 16 anggota tim penyusun dan 11 narasumber utama yang terdiri dari para ahli dengan pengarah Drs Ayip Muflich, SH, MSi dan penanggung jawab Drs Persadaan Girsang, MSi.
Pengaturan khusus UU Desa tentu merupakan langkah penting yang patut didukung guna tertatanya sistem politik dan mekanisme kekuasaan di desa secara lebih baik. Dengan merujuk pada naskah akademik yang telah dikeluarkan Depdagri, tulisan ini berusaha memaparkan kemungkinan babak baru dinamika governance di level desa.
Dari Representatif ke Deliberatif
Salah satu tanda perubahan itu adalah dengan mengganti sistem demokrasi representatif atau perwakilan desa menjadi sistem demokrasi deliberatif atau demokrasi permusyawaratan.
Konsekuensi dari sistem ini adalah BPD beralih fungsi, walau tetap sebagai lembaga legislatif desa, tetapi mekanisme pemilihan anggotanya bukan lagi pemilihan langsung melainkan melalui musyawarah desa.
Lalu, karena tidak dipilih langsung oleh warga desa maka otoritasnya menjadi setingkat di bawah kepala desa yang dipilih langsung, dan dengannya BPD kehilangan satu fungsi mendasar dalam sistem politik yakni pengawasan terhadap kinerja pemerintah desa.
Sebaliknya, kepala desa justru bertanggung jawab secara langsung kepada bupati dan hanya melalui prosedur formalitas kepada BPD dengan sekadar memberi keterangan pertanggungjawaban.
Demokrasi deliberatif tentu tidak berarti lebih buruk dari demokrasi representatif. Hanya saja, esensi demokrasi ini belum dipahami dan dijalankan sepenuhnya oleh daerah dan desa dalam arti masih dilaksanakan secara terbatas.
Musyawarah adalah baik, tetapi siapa menentukan agenda, peserta dan proses musyawarah masih sangat didominasi oleh kepala desa atau elite desa setempat, dan tentu saja dengan jumlah peserta yang masih sangat terbatas.
Kemandirian desa membawa permasalahan pada sistem pemerintahan desa seperti apa yang cocok diterapkan dalam konteks keberagaman desa di Indonesia.
Dari aspek historis dan budaya, ada desa yang memiliki tradisi adat yang kuat dan mampu melampaui fungsi-fungsi pemerintah desa secara formal, maka disebutlah ini sebagai self governing community atau kemampuan masyarakat memerintah diri mereka sendiri berdasarkan kearifan lokal mereka.
Lalu, sistem local state government yang selama ini diterapkan di mana negara memberi penyeragaman model pemerintahan desa yang secara vertikal diatur dari atas.
Terakhir adalah sistem local self government atau desa otonom, di mana desa memiliki otonominya sendiri dan memperoleh kewenangan langsung dari pusat atau meminjam istilah orde baru, desa menjadi daerah tingkat III atau Desa Praja sebagaimana diatur pada tahun 1965 melalui UU no. 19/1965.
Keanekaragaman juga dapat dilihat melalui tipologi desa di Indonesia, yakni desa dengan tradisi adat yang kuat (seperti Kajang dan wilayah pedalaman Papua), desa dengan tradisi adat yang hilang atau lemah (Jawa, sebagian Sulawesi dan Kalimantan),
desa dan adat terintegrasi (Sumatera Barat dengan Nagari, dan sebagian Sulawesi Tengah), desa dan adat eksis tapi konfliktual (Bali, NTT, Maluku, Aceh, Kalimantan Barat), desa dan adat tidak eksis (kelurahan).
Optional Village
Dengan memperhatikan aspek keanekaragaman itulah maka dalam naskah akademis itu diperkenalkan konsep optional village di mana desa dapat memilih beberapa ketentuan atau skema dalam manajemen pemerintahan desa.
Beberapa skema yang ditawarkan adalah memberikan daftar kewenangan desa (positive list) sehingga desa dapat memilih jenis kewenangan yang sesuai dengan kondisi dan kapasitasnya.
Kemudian, berbagai ketentuan dan persyaratan juga dibuat secara longgar seperti pembentukan desa dan pemilihan kepala desa hingga keanggotaan BPD. Termasuk di sini struktur keperangkatan desa dengan prinsip minimal-maksimal sehingga tidak harus ditentukan secara seragam.
Terakhir, perlunya penetapan standar geografis dan demografis atas desa dalam pengalokasian dana desa atau ADD.
Namun, disamping aspek-aspek yang dapat dipilih oleh desa, terdapat hal yang bersifat umum berlaku untuk seluruh desa, yakni pengakuan dan pelembagaan hak-hak desa yang sejak dulu telah dimiliki.
Beberapa hak dasar itu adalah memiliki dan mengontrol pengelolaan sumber daya alam, kontrol atas pengembangan kawasan yang direncanakan oleh pihak luar desa seperti pengusaha dan atau pemerintah.
Namun perlu juga diperhatikan agar nilai-nilai negatif feodalisme tidak serta-merta memperoleh justifikasi sebagai “kearifan lokal” dan olehnya harus ditetapkan standar kepemerintahan seperti nilai-nilai demokrasi, pluralisme, transparansi, akuntabilitas dan partisipasi masyarakat secara berkualitas.
Untuk itu dengan dua azas yang akan berlaku di desa, yakni asas rekognisi atau pengakuan akan hak asal-usul desa dan asas subsidiaritas atau asas membangun desa berdasarkan kebijakan yang disusun secara lokal tanpa ada koneksitas dengan negara, maka desa akan menjalankan sistem pemerintahannya secara mandiri.
Kedua asas ini berkorelasi langsung dengan jenis kewenangan di desa ke depan, yakni kewenangan asal-usul yang diakui negara untuk mengelola aset dalam wilayah yurisdiksi desa dan kewenangan melekat atau atributif untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat.
Di samping itu, dikenal juga satu kewenangan tambahan yakni kewenangan delegatif dari pemerintah pusat atau daerah yang disertai oleh pembiayaan, personel dan fasilitas.
Dalam konteks penyelenggara pemerintahan desa, sorotan naskah akademis ini adalah pada BPD dan kepala desa serta pola hubungan yang harus dibangun oleh keduanya.
Konsepsi demokrasi representatif dan deliberatif dipertemukan untuk menemukan sebuah formula demokrasi desa yang tepat di mana pemerintah desa dan anggota BPD bekerja dalam ranah tersebut.
Partisipasi masyarakat dalam interaksi kedua lembaga itu juga ditampilkan dengan mengusung tiga kriteria partisipasi seperti voice, acsess, dan control. Maksudnya bahwa masyarakat memiliki hak menyampaikan pendapat di tengah musyawarah desa,
juga kemudahan akses terhadap berbagai pelayanan publik dan khususnya informasi terbuka lebar dan mudah bagi masyarakat untuk memperolehnya dan masyarakat memiliki ruang untuk melakukan kontrol atas kinerja pemerintahan desa atau penyelewengan yang mungkin terjadi.
Untuk perencanaan pembangunan dan keuangan desa terdapat korelasi positif. Perencanaan desa sudah saatnya dilakukan secara mandiri tanpa melalui mekanisme musrembangdes sebagaimana diatur sekarang ini.
Kegagalan mekanisme musrembangdes yang disinyalir bottom up planning sistem bukan rahasia lagi, karena hampir seluruh desa di Indonesia kecewa ketika hasil perencanaan mereka selalu ditolak di level kabupaten dengan alasan klasik bahwa perencanaan desa adalah daftar usulan kepala desa.
Padahal beberapa desa telah bersusah payah mengumpulkan warga dimulai dari level dusun hingga desa menyusun rencana tersebut.
Dikarenakan sudah ada ADD maka perencanaan desa mandiri tanpa perlu diusulkan ke atas dapat dilakukan dengan dana yang sudah pasti dialokasikan melalui mekanisme transfer ADD ke desa.
Hanya saja kerangka hukum ADD perlu dipertegas dalam UU baru dan seharusnya ditransfer langsung dari APBN dan bukan melalui APBD sebagaimana kini berlaku. RUU Desa ke depan akan memperkenalkan empat model transfer uang yang masuk ke desa yakni investasi dari pemerintah, ADD, akselerasi, dan insentif.
Untuk kerja sama desa, kelembagaan kemasyarakatan, serta pengawasan dan pembinaan tidak ada perubahan prinsipil selain perlunya memantapkan aspek musyawarah dalam pembentukan kelembagaan masyarakat desa,
mekanisme dan tujuan kerja sama antardesa dan menjadikan fungsi pengawasan atas kinerja desa juga berada di bawah pemerintah pusat, daerah maupun kecamatan.
Lalu, akankah desa ke depan dapat menjadi pioner bagi pemantapan demokrasi,
kemandirian dan kesejahteraan secara lokal maupun nasional? Tentu saja masih harus menunggu masa yang panjang, mengingat nasib desa selama ini tidaklah benar-benar diperhatikan sebagai ujung tombak bagi gerakan transformasi sosial di Indonesia.
*Oleh:
Ishak Salim, Direktur Active Society Institute (AcSI), dan Alumni Institute of Social Studies (ISS) The Hague-the Netherlands.
(13 Feb 2008, 31 x , Komentar, koran fajar)
Diposkan oleh eni di 00:29 0 komentar
Pemulihan Ekonomi Nasional dan Tanggungjawab Daerah
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak 1997, belum juga berhasil dipulihkan. Berbagai upaya telah, sedang dan akan dilakukan tidak kurang oleh empat kepemimpinan nasional secara berturut-turut. Tapi, harus diakui bahwa, pemulihan krisis seolah menjadi warisan sejarah yang terus akan menjadi beban, atau paling tidak sebagai tantangan utama bagi penerus bangsa. Salah satu aspek yang perlu mendapat perhatian adalah hubungan antara pemulihan ekonomi dengan pelaksanan desentralisasi.
Seperti diketahui, di tengah krisis ekonomi bahkan krisis multidimensi, pemerintah mengeluarkan UU 22/1999 dan UU 25/1999 sebagai instrumen kehendak otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Kendatipun sementara pakar menyebutkan bahwa, berbeda dengan pengalaman beberapa negara lain yang menerapkan kebijakan desentralisasi dalam situasi tidak mengalami krisis, untuk kasus Indonesia justru sebaliknya. Maksudnya, kebijakan desentralisasi di Indonesia dilaksanakan di tengah krisis dan bahkan diharapkan menjadi salah satu obat penawar krisis.
Dua tahun implementasi otonomi daerah diwarnai dengan dinamika yang tinggi di berbagai tingkatan; nasional, provinsi dan bahkan di tingkat masyarakat dan dunia usaha. Beberapa isu penting mewarnai periode awal implementasi ini, di antaranya terkait dengan penataan urusan pemerintahan, perimbangan keuangan, pengelolaan aset dan utamanya personil, hubungan segiempat pemerintah daerah, DPRD, masyarakat dan dunia usaha, serta yang juga menonjol adalah akuntabilias pemerintahan daerah. Ketegangan juga terjadi, antara instansi pusat, antara instansi pusat dengan daerah, antara provinsi dengan kabupaten/kota, antara daerah otonom, bahkan antara masyarakat termasuk dunia usaha dengan pemerintah daerah. Kesemua ini haruslah dipandang sebagai bagian proses menuju keseimbangan dinamis baru, yang lebih baik, lebih efisien, efektif dan berdaya saing.
Pola Sistemik
Harus diakui bawah selalu terdapat keterkaitan sistemik antara pembangunan daerah dengan pembangunan nasional. Demikian pula antara gejala dan perlilaku sistemik krisis ekonomi nasional: selalu ada hubungan antara dinamika nasional dengan dinamika daerah. Tapi, memang seringkali tidak secara mudah dan tepat dapat diidentifikasi variabel-variabel kunci yang menyusun struktur sistemik krisis ini. Dalam kesempatan refleksi ini, ada baiknya kita renungkan salah satu pertanyaan penting: apa peranan dan tanggungjawab daerah dalam mewujudkan pemulihan krisis?
Barangkali ada baiknya dicermati angka-angka dalam RAPBN tahun 2003. Dari pos pengeluaran rutin, tergambar besarnya beban pembayaran bunga utang tahun 2002 tidak kurang mencapai 88,5 triliun rupiah; masing-masing 59,5 triliun bunga utang dalam negeri dan 29,0 triliun bunga utang luar negeri. Sementara proyeksi beban pos yang sama untuk tahun 2003 diperkirakan tidak kurang dari 80 triliun rupiah. Bunganya saja sudah sedemikian besar, bagaimana dengan pokoknya? Konon, tidak kurang dari 1300 triliun rupiah.
Angka lain yang juga perlu dicermati adalah pos belanja untuk daerah. Tahun 2003, diperkirakan tidak kurang dari 113 triliun dana nasional yang dialokasikan ke daerah, baik dalam bentuk dana perimbangan maupun dana otonomi khusus dan penyeimbang. Angka ini sudah lebih dari tiga kali lipat dibanding besaran dana nasional yang didaerahkan pada tahun 2000, yang mencapai sekitar 35 triliun rupiah. Apakah artinya ini?
Tidak lain adalah, manakala kita berbicara tentang pemulihan ekonomi, termasuk pembayaran bunga utang dan pokoknya seperti disebut di atas, maka peranan anggaran 113 triliun rupiah yang didaerahkan itu menjadi sangat penting. Daerah, selain mendapat pelimpahan penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam kerangka otonomi termasuk perimbangan keuangan, juga pada saat yang sama punya tanggung jawab besar dalam pemulihan ekonomi. Singkatnya, bagaimanakah masing-masing daerah secara optimum memanfaatkan dana yang diterimanya, yang akumulatif 113 triliun tersebut, untuk menjadi mesin pertumbuhan daerah ,sekaligus menjadi mesin pemulihan nasional?
Otonomi daerah telah menjadikan setiap daerah sebagai pusat peningkatan produktivitas nasional. Ini bukan hanya keinginan, tapi sudah sebagai keharusan. Sayang sekali, masih sering ditengarai adanya kesenjangan antara keharusan dengan apa yang berkembangan di sementara daerah. Beberapa ilustrasi menggambarkan fenomena ini.
Pertama, masih sering terdengar keluhan dari para pengusaha, baik domestik maupun manca negara. Dalam pertemuan para usahawan internasional di Singapura baru-baru ini, mencuat isu “local custom” di beberapa daerah di Indonesia. Bila ternyata masih ada daerah yang lebih suka mengenakan beban-beban berlebih, baik berupa pajak dan retribusi daerah maupun beban pungutan lain, sehingga dikesankan adanya local custom ini, jelas hal ini tidak kondusif bagi upaya peningkatan produktivitas daerah.
Memang dapat dimengerti, bila daerah memerlukan pembiayaan, yang salah satu sumbernya berupa PAD. Kenyatannya juga, kontribusi PAD dalam APBD bervariasi dari satu daerah ke daerah lain. Ada daerah yang kontribusi PAD dalam APBD lebih besar dari 20%, tapi ada juga daerah yang kontribusi PADnya dalam APBD hanya 3%. Tapi apapun situasinya, secara umum dapat dikategorikan dua fenomena yang berbeda berkenaan dengan hubungan antara PAD dengan pertumbuhan daerah.
Suatu daerah dapat mengumpulkan PAD, ex ante, tanpa perlu mempertimbangkan masak-masak implikasinya terhadap produktivitas dan pertumbuhan daerah. Hal ini ditunjukkan oleh sementara daerah yang sejak mula implimenetasi otonomi daerah berorientasi meningkatkan sebesar-besarnya PAD. Disadari atau tidak, kebijakan seperti ini jelas mengurangi minat para investor untuk mengembangkan usahanya di daerah tersebut. Dengan sedikitnya minat investor, dengan sendirinya akan menurunkan kemampuan daerah tersebut untuk mengumpulkan PAD, misalnya karena tidak berkembangnya hiburan dan restoran tentu tidak terkumpulnya pajak hiburan dan restoran. Kerugian lain yang diderita oleh daerah semacam ini adalah tidak berkembangnya kesempatan kerja.
Sebaliknya, suatu daerah juga dapat berorientasi memungut PAD, ex post, mendorong produktivitas dan pertumbuhan terlebih dahulu baru memungutnya. Bila investor suka hati berusaha di daerah tersebut, kesempatan kerja meningkat, kegiatan ekonomi tumbuh, termasuk restoran, hiburan dan pariwisata. Dengan pertumbuhan sektor-sektor yang terakhir ini dengan sendirinyapun pajak dan retribusi daerah atau PAD meningkat.
Catatan dua tahun terakhir ini, tampaknya ada daerah yang masih berorientasi pada pengumpulan PAD terlebih dahulu, tapi tidak sedikit juga yang sudah berorientasi mendorong pertumbuhan dahulu. Contoh yang terakhir ini adalah Provinsi Gorontalo. Berulang kali dikemukakan oleh Gubernur Provinsi Gorontalo: anti retribusi daerah, dan dorong produktivitas. Utamanya produktivitas komoditi jagung. Walaupun dikatakan anti retribusi daerah, maksudnya adalah untuk menekankan betapa pentinganya peningkatan pertumbuhan daerah terlebih dahulu, barulah dipetik hasilnya, antara lain berupa PAD.
Kedua, ada daerah yang selalu merasa kekurangan dana perimbangan, dan cenderung menuntut kenaikan DAU. Harus dipahami bahwa DAU bukanlah dana yang berasal dari negeri antah berantah. DAU adalah bagian dana perimbangan yang diperoleh dari Penerimaan Dalam Negeri (PDN), yang nilainya minimal 25%. Kenaikan DAU suatu daerah hanya dapat diperoleh melalui (1) penurunan DAU daerah lain manakala total aloksinya tetap, (2) penurunan alokasi pusat manakala persentase alokasi DAU dari PDN naik, atau (3) kenaikan PDN.
Kenaikan PDN diperoleh melalui kenaikan pajak dalam negeri termasuk cukai, pajak perdagangan internasional, dan penerimaan negara bukan pajak. Untuk menaikkan pajak-pajak ini tentu dibutuhkan pertumbuhan dan peningkatan produktivitas badan-badan usaha domestik, BUMN maupun asing. Pertanyaannya, daerah manakah yang terus berusaha menarik sebanyak mungkin badan-badan usaha produktiv ini untuk berusaha di daerahnya? Bila ternyata suatu daerah lebih berorientasi pada peningatan PAD sejak awal dan mengorbankan prioritas pertumbuhan, jelas daerah ini tidak menyumbang pada PDN yang akan dibagikan ke dalam bentuk DAU.
Memang disadari ada daerah yang menyumbang sangat besar ke dalam PDN seperti DKI, Jawa Barat, Jawa Timur dan beberapa daerah lain. Tapi juga tidak sedikit daerah yang lebih banyak tergantung pada sumbangan PDN. Inilah mozaik Negara Kesatuan Republik Indoneisa. Otonomi Daerah dimaksudkan untuk memperkaya mozaik ini berupa bertumbuhnya daerah sekaligus kuatnya negara kesatuan. Dengan sendirinya semakin banyak daerah yang bertumbuh cepat, semakin kuat pulalah negara kesatuan.
Ketiga, diskusi tentang upaya peningkatan produktivitas daerah tentu menyentuh tentang struktur APBD: apakah pemerintah daerah dan DPRD telah menyusun APBD untuk sebesar-besarnya kepentingan pertumbuhan daerah? Apakah alokasi untuk belanja publik relatif lebih besar daripada belanja adminitrasi? Bila masih terdapat kecenderungan alokasi belanja publik yang rendah tentu ini tidak sejalan dengan upaya mendorong produktivitas daerah.
Sebagai ilustrasi misalnya ada dinas pertanian kabupaten memperoleh alokasi anggaran sebesar 6 milyar rupiah. Pertanyaan kuncinya adalah; berapa besar porsi anggaran dialokasikan untuk mendorong produktivitas perbenihan, penanaman, pemeliharan, pemanenan, pemasaran serta pengolahan komoditas pertanian dibandingkan dengan porsi anggaran untuk adminitrasi dinas pertanian tersebut?
Tolok ukur lain tentang hal ini adalah ketaatatan DPRD terhadap Peraturan Pemerintah 110/2000. PP ini mengatur tentang batas maksimum untuk pengeluaran DPRD. Prinsipnya bila DPRD membatasi pengeluarannya seperti yang diatur dalam PP ini, maka semakin besarlah porsi anggaran untuk pelayanan masyarakat. Dengan demikian juga semakin besar kesempatan untuk mendorong produktivitas daerah. Sayang sekali, masih terdengar keluhan di beberapa daerah, yang DPRDnya secara sadar melanggar ketentuan ini. Bila demikian ini dapat dikatakan bahwa DPRD belum berorientasi sepenuhnya pada upaya mendorong produktivitas daerah.
Keempat, beberapa aspek terkait dengan pinjaman dan kerjasama daerah. Sepanjang tahun 2001 dan 2002 terjadi diskusi hangat tentang boleh tidaknya daerah meminjam langsung kepada sumber-sumber pendanaan luar negeri. Indikasi ke arah kebolehan ini memang tercermin dalam UU 22/1999 dan UU 25/1999. Yang harus diperhitungkan adalah implikasi sistemiknya manakala setiap daerah boleh meminjam langsung ke luar negeri. Bagaimanapun juga pinjaman luar negeri terkait dengan peluang terjaminnnya usaha di masa depan. Apakah selalu ada jaminan bahwa pinjaman-pinjaman tersebut di masa depan memperoleh kepastian pengembalian, baik oleh karena alasan ekonomik, politik maupun alasan lainnya kondisional setempat. Inilah kekhawatiran, termasuk yang disampaikan oleh negara dan badan-badan donor internasional sejak sidang CGI di Tokyo Oktober 2000.
Masih banyak faktor dan alasan mengapa kita harus sangat hati-hati menerapkan kebijakan pinjaman luar negeri langsung bagi daerah. Masalah akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, dinamika politik lokal, pengalaman internasional termasuk Argentina dan bahkan Amerika sendiri tampaknya alternatif pembiayaan dua tahap seperti dilakukan selama ini tetap merupakan pilihan kebijakan yang optimal.
Tampaknya, lebih baih bila daerah tidak berpikir terlalu jauh tentang pencarian pinjaman langsung dari luar negeri ini. Tanggung jawab daerah adalah memanfaatkan potensi keuangannya, termasuk dana perimbangan, untuk mendorong investor dalam dan luar negeri supaya produktivitas daerah meningkat sebesar-besarnya. Masing-masing daerah harus berhemat sesuai kapasitas keuangannya, dan pada saat yang sama berrtanggungjawab secara akumulatif memaksimalkan kegunaan dana 113 triliun itu. (Dr.Ir Sudarsono, MA, Kepala Badan Diklat Depdagri, dan dosen FISIP UI)